Pengkhotbah: Pdt. Effendi Susanto STh.
Tema: Jangan Berjudi dengan Dosa
Nats: Efesus 2:1-3
“Kamu dahulu sudah mati karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosamu. Kamu hidup di dalamnya, karena kamu mengikuti jalan dunia ini, karena kamu mentaati penguasa kerajaan angkasa, yaitu roh yang sekarang sedang bekerja di antara orang-orang durhaka. Sebenarnya dahulu kami semua juga terhitung di antara mereka, ketika kami hidup di dalam hawa nafsu daging dan menuruti kehendak daging dan pikiran kami yang jahat. Pada dasarnya kami adalah orang-orang yang harus dimurkai, sama seperti mereka yang lain” (Efesus 2:1-3). Perhatikan dalam ayat ini dua kali Paulus memakai satu kata yang penting: “dahulu,” kata yang memberikan sebuah kesadaran ingatan perihal kondisi kita di masa yang lalu dan itu boleh menjadi satu cermin yang indah dan baik dari Tuhan.
Namun kita tidak boleh lupa bahwa ada satu sosok pribadi yang senantiasa bahkan nanti sampai kita bertemu dengan Tuhan, sosok pribadi itu akan mengungkit-ungkit segala hal yang ada di dalam hidup kita; dan sosok itu adalah Iblis, sang pendakwa itu. Inilah sifat Iblis yang selalu mendakwa dan menuduh kita. Ketika sdr berdiri di hadapan Tuhan lalu di samping kita ada si Iblis yang membuka bukunya dan lalu menuduh dan mendakwa kita, bagaimana perasaan kita pada waktu itu? Saya percaya bukan saja sdr merasa tidak nyaman, tetapi perasaan devastated, helpless, rasa marah, sedih, kecewa bercampur-aduk di situ.
Namun pada waktu sdr baca Efesus 2:1-3 jelas ini bukan menjadi tuduhan daripada Tuhan yang membuat kita devastated. Ada dua fungsi dari ayat-ayat ini menyatakan kepada kita. Fungsi yang pertama adalah ayat 1-3 ingin dikontraskan dengan ayat 4-5, “Tetapi Allah yang kaya dengan rahmat, oleh karena kasih-Nya yang besar, yang dilimpahkan-Nya kepada kita telah menghidupkan kita bersama-sama dengan Kristus, sekalipun kita telah mati oleh kesalahan-kesalahan kita.” Itu adalah kontras yang seharusnya mengingatkan kepada kita betapa luar biasanya rahmat dan anugerah Allah itu. Semakin kita mengerti bahwa kita tidak layak menerimanya, semakin kita akan mencintai dan menghargai Tuhan dan anugerahNya kepada kita. Fungsi yang ke dua dari ayat-ayat ini dan yang menjadi fokus kita pada hari ini adalah supaya kita mempunyai perspektif yang semakin jelas melihat apa yang dulu. Kadang-kadang kita melihat hidup kita dahulu yang dalam dosa tidak terlalu serius dan kita pandang enteng. It’s just fine. Benarkah? Jikalau sdr menemukan bercak berwarna merah di kulitmu atau satu benjolan kecil, apakah kita bilang, just fine, tidak apa, ini hanya hal yang biasa? Tetapi pada waktu di x-ray dengan seksama dan hasilnya menyatakan itu adalah kanker yang ganas, sesuatu yang berbahaya bagi nyawamu, engkau harus terima itu suatu diagnosa yang benar dan tepat dan tidak boleh dianggap enteng.
Efesus 2:1-3 adalah sebuah x-ray yang kita butuhkan dan tidak boleh kita abaikan dalam perjalanan kita ikut Tuhan. Dosa itu bukan sekedar bicara soal prilaku dan tingkah laku moral saja. Dosa bukan bicara soal kenakalan, keisengan, ketidak-sopanan, dan perbuatan-perbuatan yang antisosial dalam masyarakat. Paulus dengan serius mengatakan, ketika kita hidup dalam dosa kita mengikuti jalan dunia ini, kita mentaati penguasa kerajaan angkasa, yaitu roh yang sekarang sedang bekerja di antara orang-orang durhaka. Pada waktu kita dalam dosa sesungguhnya kita ada di bawah kontrol, pengaruh dan kuasa kegelapan. Roh jahat itu aktif bekerja sebagai energi yang membuat kita menaatinya karena kita 100% berada di bawah kontrol dari kuasa kegelapan itu. Kita tidak boleh melihat ini konsep orang itu kerasukan Setan, orang itu kehilangan personality-nya lalu kelihatan seperti orang gila. Mungkin ketika kita menengok ke belakang kepada hidup kita yang dulu, kita tidak merasa dulu itu kita kerasukan Setan, bukan? Kita mungkin tidak pernah bermain-main dengan kuasa kegelapan; kita tidak punya sesuatu ajimat atau menyimpan benda-benda gaib; kita rasa hidup kita baik-baik saja. Tetapi yang Paulus bicarakan ini adalah kuasa Setan yang berada di dalam sifat dosa yang sungguh kuat yang membuat kita tidak berdaya; sifat dosa yang begitu powerful, yang menyerang kita, yang menyebabkan kita berada di dalam kontrolnya.
Lukas 4:13 mencatat suatu hal yang penting setelah Yesus menang atas pencobaan di padang gurun, apa yang terjadi selanjutnya, “Sesudah Iblis mengakhiri semua pencobaan itu, ia mundur dari pada-Nya dan menunggu waktu yang baik.” When the devil had finished all this tempting, he left Him until an opportunity time. Yesus sepanjang waktu tidak boleh lengah karena Iblis akan menyerang ketika ada kesempatan. Ayat ini juga mengingatkan hal yang penting bagi kita, sekalipun sekarang setelah kita beriman kepada Tuhan, kita tidak kebal terhadap dosa dan takabur terhadap dosa. Kita harus mempunyai perspektif yang jelas hidup sebagai orang Kristen senantiasa kita struggle untuk bisa mengalahkan dosa karena kita tahu taktik dan cara bermain Iblis karena dia akan mencari kesempatan di tengah kelemahan kita. Ada dua movement daripada dosa. Movement yang pertama, dosa itu agresif menyerang dengan tiba-tiba pada tiga sifat yang penting yang kita perlu hati-hati dan menjadikan kita senantiasa waspada dalam hal apa yang kita bisa jatuh. Yang pertama, kemarahan yang meluap. Yang ke dua, kekecewaan yang terpuruk. Yang ke tiga adalah kedengkian yang terpendam.
Mari kita lihat aspek yang pertama serangan yang muncul dalam kemarahan kita yang meluap. Dalam Efesus 4:26-27 Paulus mengatakan, “Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu dan janganlah beri kesempatan kepada Iblis.” Paulus bilang ada marah yang tidak berdosa karena di situ engkau menyatakan ketidak-setujuanmu tetapi dari situ jangan sampai dia berubah menjadi indignant, kita kemudian menjadi marah dan benci dan kemarahan itu kemudian menguasai kita. Dari situlah dia menjadi dosa yang menyerang di dalam hidup kita. Dalam Matius 5:21-22 Tuhan Yesus berkata, “Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala.” Di sini Tuhan Yesus memberikan satu perbandingan yang luar biasa. Ketika kita menyatakan kemarahan yang menyala-nyala kepada seseorang, itu sudah sama dengan membunuh sebab di balik dari tindakan pembunuhan pasti senantiasa diawali dengan keluapan kemarahan.
Dalam Kejadian 4:5-7 dikatakan, “tetapi Kain dan korban persembahannya tidak diindahkan-Nya. Lalu hati Kain menjadi sangat panas, dan mukanya muram. Firman TUHAN kepada Kain: “Mengapa hatimu panas dan mukamu muram? Apakah mukamu tidak akan berseri, jika engkau berbuat baik? Tetapi jika engkau tidak berbuat baik, dosa sudah mengintip di depan pintu; ia sangat menggoda engkau, tetapi engkau harus berkuasa atasnya.” Kain tidak mau mendengar peringatan Tuhan. Dia membiarkan kemarahan dan kebencian menguasai hatinya sehingga dengan kejam membunuh Habel, adiknya sendiri.
Yohanes 13:27 mencatat, “Dan sesudah Yudas menerima roti itu, ia kerasukan Iblis. Maka Yesus berkata kepadanya: “Apa yang hendak kauperbuat, perbuatlah dengan segera.” Jelas sekali pada waktu Yudas Iskariot menjual Yesus Kristus, Alkitab mencatat dia kerasukan Iblis. Tetapi apakah kerasukannya sama dengan gejala kerasukan dari orang-orang yang kehilangan kesadarannya? Jelas tidak. Yudas dalam kesadaran penuh melakukan tindakan itu. Tetapi ayat ini memperlihatkan ada korelasi antara Yudas menjual Yesus dengan perbuatan Setan yang merasuki dia. Kemarahan Yudas sudah muncul dalam peristiwa yang terjadi sehari sebelumnya di Betania jelas kemarahan Yudas menjadi sesuatu yang terakumulasi. Ketika Yesus diurapi oleh Maria dengan minyak narwastu yang begitu mahal, ini reaksi dari Yudas Iskariot diangkat dalam Markus 14:4 “Ada orang yang menjadi gusar dan berkata seorang kepada yang lain: “Untuk apa pemborosan minyak narwastu ini?” Dia begitu marah, dia begitu gusar dan kemarahan itu begitu besar kepada Yesus Kristus dan Yohanes 13:27 mengatakan roh jahat kemudian merasuki dia. Itulah yang kemudian memicu dia untuk menjual dan mengkhianati Yesus Kristus, Gurunya sendiri.
Yang ke dua, serangan yang masuk dari kedengkian atau iri hati yang terpendam. Tindakan Kain membunuh Habil yang dicatat dalam Kejadian 4 memperlihatkan selain dia iri hati karena persembahannya tidak diterima oleh Tuhan, tetapi karena kemarahannya jelas sekali ada banyak kisah yang dicatat di Alkitab dimulai oleh karena kemarahan yang meluap-luap, hanya dalam waktu sekejap saja kita tidak sadar kita telah melakukan kesalahan yang begitu besar. Alkitab mencatat roh jahat menguasai hati Saul, ketika dia melihat Daud, dia menjadi iri (1 Samuel 18:10). Berkali-kali dengki dan iri begitu menguasai dan membuat Saul terus mencari jalan bagaimana bisa membunuh Daud. Ini satu kaitan yang amat perlu kita perhatikan. Kata “covet” atau mengingini adalah satu keinginan yang begitu kuat membuat saya ingin mendapatkan apa yang menjadi milik orang itu. Tetapi berbeda dengan dengki dan iri hati yang bisa mendorong orang untuk merusak barang milik orang lain. Saya tidak mau dia punya itu, atau, kalau saya tidak bisa dapat, dia juga tidak bisa dapat. Karena dengki dan iri, manusia bisa melakukan pembunuhan tetapi dengan cara yang begitu halus dan tersembunyi di balik tindakan yang seolah menolong.
Yang ke tiga, kekecewaan yang terpuruk; kekecewaan yang mendalam bisa dipakai oleh si Jahat, dia seperti satu kekuatan energi yang menyedotmu ke dalam lubang yang begitu dalam, yang membuat iman, pengharapan, dan kasihmu kepada Tuhan hilang lenyap, itulah yang menjadi ciri kekecewaan yang terpuruk. Pada waktu isteri Ayub dia kehilangan semua anaknya dan juga segala harta miliknya hilang lenyap sementara Ayub sendiri kena penyakit kulit yang dahsyat, Ayub 2:9 mencatat isteri Ayub berkata, “Masih bertekunkah engkau dalam kesalehanmu? Kutukilah Allahmu dan matilah!” Tidak ada gunanya ikut Tuhan. Dia masuk ke dalam sebuah kekecewaan yang sangat dalam, merasa Tuhan tidak adil dan tidak benar dan itu kemudian menjadi sebuah siklus yang berbahaya yang bisa spiralling down. Kemarahan yang meluap, kedengkian yang terpendam, dan kekecewaan yang terpuruk, itulah pintu masuk serangan Iblis yang harus kita waspada dan hati-hati. Kita kecewa, kita merasa Tuhan tidak adil dan tidak baik kepada kita; kita kecewa kepada perlakuan orang; kita kehilangan pengharapan di tengah situasi yang susah dan berat yang bertubi-tubi datang ke dalam hidup kita jangan sampai dipakai Iblis untuk membuat kita jatuh dalam dosa.
Movement yang ke dua dari ayat Efesus 2:1-3 ini, Paulus berkata: Kamu hidup di dalam dosa, kamu mengikuti jalan dunia ini, kamu mentaati penguasa kerajaan angkasa, yaitu roh yang sekarang sedang bekerja di antara orang-orang durhaka, kamu hidup di dalam hawa nafsu daging dan menuruti kehendak daging dan pikiran yang jahat. Inilah satu fakta yang sangat berbahaya. Dalam dosa kita hanya mengikuti tanpa perlawanan seperti kerbau yang dicucuk hidungnya digiring ke pembantaian, tidak bereaksi apa-apa. Di dalam dosa kita bisa tidak aktif melakukannya, tetapi kita menjadi sangat pasif untuk tidak dibangunkan. Itulah the second movement daripada dosa. Kita menuruti, kita mengikuti, kita terbuai dengan cara hidup daripada dunia ini yang memabukkan.
Dalam pertanyaan 107 dari Heidelberg Catechism, pertanyaannya adalah: Apakah cukup jika kita tidak membunuh sesama kita? Jawabannya: tidak cukup. Tuhan panggil kita untuk mengasihi sesama kita; sabar, cinta damai, belas kasih, lembut, bersahabat dan melindungi mereka yang dalam bahaya dengan sekuat tenaga. Sikap masa bodoh, tidak peduli, lalu kita biarkan diri kita hanyut dengan tidak ada perlawanan terhadap godaan dosa, itu kita sebut sebagai the sin of omission. Dosa ini sangat subtle sekali sebab kita tidak secara aktif membunuh orang, tetapi kita tidak mencegah hati kita untuk membenci dia, kita terus pelihara ketidak-senangan kepada dia yang terus kita simpan dalam hati. Walaupun saya tidak apa-apakan dia, tetapi ketika dia ada kesusahan dan kesulitan, kita memalingkan wajah dan tidak mau tahu dan[tidak mau lihat; bahkan hati kita berkata: Syukur, rasain lu! Inilah the sin of omission. Sifat dosa itu kebanyakan ada pada diri orang-orang yang mengaku sebagai orang yang beragama dan pengikut Tuhan. Kita ingat Yesus pernah memberikan perumpamaan mengenai Orang Samaria yang Baik Hati pada waktu ada seorang yang dirampok dan sudah sekarat hampir mati tergeletak di pinggir jalan, seorang imam dan seorang Lewi hanya melewatinya dari seberang jalan tanpa berbuat apa-apa kepada orang itu. Memang mereka tidak melakukan apa-apa yang menambah penderitaan orang itu, tetapi dengan tidak berbuat apa-apa ketika orang itu berada dalam kondisi yang sangat memerlukan pertolonganmu, Yesus bertanya kepada orang-orang beragama di situ: siapakah di antara orang-orang ini adalah sesama manusia bagi orang yang terluka itu? Mereka tidak bisa menjawabNya. Yesus ingin mengajak kita melihat perumpamaan itu membongkar dosa setiap kita dan dosa itu adalah the sin of omission. Ada tiga point bicara mengenai the sin of omission. Yang pertama, seringkali kita ikut-ikutan, we follow the majority. Semua orang begitu sih cara kerjanya, cara bicaranya, cara bercandanya, dsb. Ke dua, kita tutup mata terhadap hal yang salah atau ketika ada orang yang harus kita tolong, atau kita pura-pura mengabaikan kejahatan yang terjadi di depan kita. Atau yang ke tiga, kita menyenangkan diri kita sendiri, amusing ourselves to death. Hidup terus hanya bagi diri sendiri dan tidak peduli akan orang lain. Kita tidak rugikan dia, tetapi kita tidak berbuat hal yang indah dan baik bagi orang itu.
Yang terakhir, hal yang penting dan serius Paulus ingatkan dari ayat ini, “Pada dasarnya kita adalah orang-orang yang harus dimurkai, sama seperti mereka yang lain.” Ada murka Allah yang menanti kita. Itu adalah hal yang sangat serius. Di situ kita bisa melihat dosa itu bukanlah relasi yang bersifat horisontal antara seorang yang dirugikan dan orang yang melakukannya, antara saya dengan orang lain; tetapi itu adalah satu hubungan vertikal kita dengan Tuhan, satu pertanggung-jawaban kita saat berdiri di hadapanNya. Hanya Yesus Kristus yang tidak berdosa dan tanpa dosa. Semua kita, seperti bapa Reformator Martin Luter katakan kita adalah orang berdosa yang telah dibenarkan Tuhan. Kita adalah sinners. Rasul Yohanes dalam 1 Yohanes 1:8-10 berkata, “Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita. Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan. Jika kita berkata, bahwa kita tidak ada berbuat dosa, maka kita membuat Dia menjadi pendusta dan firman-Nya tidak ada di dalam kita.” Kita hidup setiap hari tidak akan lepas dari berbuat dosa. Yang membedakan adalah kepekaan kesadaran dan struggle untuk menang atasnya. Ada perbedaan besar antara saya berjuang melawan dosa atau diam-diam menyembunyikannya sehingga orang tidak melihat saya berbuat dosa. Ada perbedaan besar antara saya berjuang untuk mau mengasihi saudara-saudara bahkan musuh-musuh kita, atau dengan diam-diam kita membenci mereka. Saya belum bisa mengasihi orang itu, saya masih terluka, saya tahu dia musuh saya, tetapi saya mau berjuang untuk memperhatikan dan mengasihi dia.
Pada waktu kita sadar kita akan berdiri di hadapan tahta Allah dan menerima murka atas dosa-dosa kita, kita tahu seriusnya dosa harus menjadi orang yang berjuang melawannya, dan pada saat yang sama dengan rendah hati datang kepada Tuhan mengaku segala dosa dan kesalahan kita. Dosa yang paling berbahaya bagi orang percaya, khususnya bagi pemimpin-pemimpin agama adalah dosa yang disembunyikan [a secret sin]. Orang juga tidak akan percaya oleh sebab kita tidak pikir orang itu akan melakukannya. Bayangkan, betapa malunya kita pada waktu kita berdiri di hadapan Tuhan dan buku kehidupan kita terbuka dan meng-ekspose semua dosa-dosa yang selama hidup kita rahasiakan dan tidak ada tempat kita bersembunyi dari semua itu. Tetapi walaupun kita sedih dan menangis dan merasa malu di hadapan Tuhan pada waktu si Iblis membuka semua dosa kita dan melemparkan tuduhan yang bertubi-tubi ternyata itu semua bukan secret sins karena itu adalah dosa-dosa yang sudah kita akui di hadapan Tuhan; it is forgiven sin. Tidak apa-apa dia buka semua itu karena di hadapan Allah dan di hadapan orang lain yang saya sudah berbuat salah, saya sudah menyatakan permintaan maaf, saya sudah mengakui kesalahan dan dosaku dan meminta pengampunan Tuhan, itu adalah sebuah keindahan.
Sebuah komunitas gereja yang baik dalam pelayanan sama-sama, kita tidak boleh menuduh dan menghakimi seseorang. Marilah kita menjadi satu komunitas yang mendatangkan kesembuhan ketika ada seseorang yang bersalah dan datang mengaku kepada kita, jangan pernah ungkit-ungkit dan mengingat-ingat kesalahan orang itu lagi. Mari kita berikan kesempatan ke dua kepada orang-orang seperti ini. Kita menyatakan kasih yang merangkul kepadanya; kita menjadi telinga yang mendengarkan pergumulan dan simpati kepada orang di dalam hidup kita. Biarlah kita boleh menjadi sebuah komunitas yang saya harap bisa tumbuh secara sehat dan saling menyembuhkan pada waktu kita menghadapi berbagai kesulitan dan pergumulan di dalam hidup kita berelasi satu sama lain. Itu adalah hal yang amat penting dalam hidup bergereja. Bersyukur kepada Tuhan ketika Tuhan angkat dan buka walaupun kita dipermalukan luar biasa karena itu berarti ada cinta kasih dan belas kasihan Tuhan kepada kita. Ambil momen untuk merenungkan hubungan kita masing-masing dengan Tuhan. Jangan ada dosa yang masih membelenggu kita. Jangan ada lagi kemarahan, iri hati dan kedengkian, serta kekecewaan membelenggu kita, membuat kita menjadi masa bodoh, menjadi apatis, tidak peduli, dan tidak mengulurkan tangan kepada orang yang pernah berbuat tidak baik kepada kita. Mari belajar untuk mengaku dan mohon pengampunan Tuhan karena itu akan membebaskan dan menyembuhkan engkau.(kz)
