Pengkhotbah: Pdt. Effendi Susanto STh.
Seri: Eksposisi Surat Ibrani [14]
Tema: Tiga Cara memandang Disiplin Allah
Nats: Ibrani 12:1-11
“Tiga Cara memandang Disiplin Allah,” tema yang saya ambil dari Ibrani 12:1-11; kiranya firman Tuhan yang begitu indah ini boleh menjadi firman Tuhan yang kita dengar dan menjadi pegangan iman kepercayaan kita bahwa Allah kita adalah Bapa yang baik, penuh dengan kasih dan rahmat kepada setiap kita. Ibrani 12:1-11 menjadi satu perikop khusus bicara mengenai respon sebagai anak-anak Allah terhadap disiplin Allah kepada setiap kita. Pada waktu kita membaca bagian firman Tuhan ini, kita boleh menemukan keindahan, kekuatan dan encouragement yang luar biasa. Perjalanan ikut Tuhan bukan satu perjalanan yang gampang dan mudah bagi mereka yang mau sungguh-sungguh menjadi seorang pengikut dan murid Kristus yang sejati adanya. Kita bisa mengalami tekanan, kesusahan dan kesulitan yang begitu berat di dalam perjalanan itu, yang mungkin bisa membuat hati kita kecewa dan putus asa dan kita meragukan akan penyertaan dan pemeliharaan Tuhan. Sebelumnya di pasal 11 dia berbicara mengenai hidup orang-orang beriman di Perjanjian Lama, sekarang orang-orang itu sudah selesai menjalani perjuangan perlombaan yang Tuhan sudah tentukan dalam hidup mereka. Ada yang menjalani perjalanan yang pendek seperti Habel yang cinta Tuhan dan mau berdedikasi untuk melayani Tuhan, seketika langsung mati dibunuh (Kejadian 4:8, Ibrani 11:4). Ada orang yang sepanjang hidup bergaul dengan Allah di tengah dunia yang berdosa, dia sungguh-sungguh mencintai dan mengasihi Allah, dan Allah mengijinkan dia menikmati segera berkat surgawi itu dan dia tidak melewati kematian di atas muka bumi ini (Kejadian 5:24, Ibrani 11:5). Anak-anak Tuhan yang menerima surat ini juga menghadapi tantangan dari luar, terlalu dahsyat penderitaan dan kesulitan yang mereka alami bisa begitu melemahkan iman. Mereka menjadi tontonan di depan publik, dipermalukan, dicemooh dan diperlakukan dengan tidak baik. Sebagian dari mereka kehilangan harta benda dan tempat tinggal karena percaya kepada Yesus Kristus (Ibrani 10:33-35). Sampai hari ini kita melihat di berbagai belahan bumi ada anak-anak Tuhan yang ditangkap, disiksa, bahkan dibunuh dan tidak ada keadilan dan perlindungan hukum bagi mereka. Kita bisa melihat penganiayaan dan tantangan seperti itu bukan lagi terjadi hanya di negara-negara dimana orang Kristen adalah minoritas tetapi juga terjadi di negara-negara Barat yang dulunya notabene adalah negara-negara yang mengaku sebagai negara Kristen atau dimana Kekristenan dulunya mayoritas.
Setiap kita bisa mengalami keadaan dan perjalanan hidup yang berbeda-beda, tetapi kita harus memiliki perspektif, attitude dan respon yang benar di dalam menjalani perjalanan itu. Maka ada dua nasehat yang penulis Ibrani berikan di awal pasal 12 ini: “Karena kita mempunyai banyak saksi, bagaikan awan yang mengelilingi kita, marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita, dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita” (Ibrani 12:1). Ini nasehat yang pertama. Penulis Ibrani mengingatkan ada set perlombaan yang Tuhan berikan kepada kita masing-masing. Kita tidak perlu membanding-bandingkan dengan orang lain; tetapi dalam perjalanan itu kita menyatakan ketekunan dan kesabaran sampai kepada akhirnya karena itulah bukti bahwa kita memiliki iman yang sejati adanya; itulah bukti kita berjalan di dalam the path of faith yang sama. Dan ketika kita menghadapi tantangan kesulitan yang begitu berat, jangan kita menjadi takut dan bertanya-tanya apakah iman kita sejati adanya sebab kita sudah mempunyai contoh orang-orang yang disebutkan di pasal 11, bagaimana tokoh-tokoh iman ini berjalan di dalam perjalanan hidupnya. Sekarang tongkat estafet itu diberikan kepada kita. “Marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita, dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita” (Ibrani 12:1). Inilah saatnya, inilah momen pada waktu kita mengatakan bahwa kita adalah orang yang percaya kepada Tuhan Yesus, mari kita menjalani iman percaya kita dengan serius, dengan sungguh-sungguh, dengan fokus dan bersiap hati berjalan dalam perjalanan salib dalam mengikut Yesus Kristus, apa pun yang kita alami. Mungkin kita tidak mengalami tekanan yang sama terhadap iman kita seperti jemaat yang menerima surat Ibrani ini, tetapi mungkin ada saat-saat dimana kita harus mengambil keputusan yang tidak mudah sebagai orang percaya; ada saat-saat dimana kita harus melangkah dengan iman menjalani apa yang Tuhan firmankan kepada kita dengan taat dan dengan setia, dan mungkin ada hambatan, kesusahan, kesulitan dan penderitaan yang kita alami. Pada waktu kita jalani kita bisa bertanya-tanya, kenapa kita harus melewati hal-hal seperti ini? Kapan semua ini berakhir? Maka penulis Ibrani bilang di dalam pergumulan itu jangan sampai menjadi lemah dan putus asa. Dia memakai ilustrasi melihat perjalanan itu sebagai suatu perlombaan. Memahami perlombaan bukan dengan satu dimensi seperti pertandingan lari siapa yang paling cepat sampai di garis finish. Memahami perlombaan bukan seperti tinju atau tenis, siapa lawan siapa, ada yang kalah ada yang menang. Memahami perlombaan ini trekking dimana setiap orang menjalani tantangan yang berbeda-beda, tetapi sama-sama terus berjalan sampai selesai. Masing-masing fokus. Masing-masing jalan dengan konsisten. Masing-masing sabar dan tekun sampai selesai.
Kemudian aspek yang ke dua di ayat ini penulis Ibrani mengingatkan kita untuk menanggalkan beban dan dosa yang bisa merintangi kita dalam perlombaan itu. Di pasal-pasal depan penulis Ibrani bicara begitu serius sebagai anak-anak Tuhan tidak bisa terus membawa dosa dalam hidup kita. Dia mengingatkan dosa dan pencobaan senantiasa mau menarik kita keluar dari lingkungan gereja, menjadi murtad dan akhirnya meninggalkan Yesus Kristus. Maka di sinilah kemudian kita bisa melihat kenapa selanjutnya dia bicara mengenai disiplin Allah, pukulan dan hajaran yang dianggap perlu untuk diberikan supaya kita tidak terus hidup di dalam keberdosaan itu. Pada waktu disiplin itu datang, mungkin kita bisa kaget, marah dan putus asa.
Itulah sebabnya penulis Ibrani perlu mengutip Amsal 3:11. Kitab Amsal bicara bagaimana seorang ayah atau seorang yang dewasa sedang mendidik anak muda yang menjelang dewasa untuk bagaimana mereka hidup secara bijaksana. “Dan sudah lupakah kamu akan nasihat yang berbicara kepada kamu seperti kepada anak-anak: Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkan-Nya” (Ibrani 12:5). Dia kembali mengingatkan mereka kepada nasehat yang pernah mereka dengar sebelumnya. Yang pertama, jangan anggap enteng didikan Tuhan, jangan meremehkan disiplin yang diberikan oleh Tuhan. Ini adalah cara pandang pertama yang salah, yaitu anak itu dengan arogan menolak atau memandang ringan disiplin yang diberikan kepadanya. Memandang enteng, memandang ringan.
Dalam Alkitab, khususnya dalam kitab Mazmur kita menemukan mazmur menyebut akan orang-orang yang bebal dan orang-orang yang jahat atau fasik itu adalah orang yang mengabaikan didikan Tuhan. Mereka dengan sengaja tidak mau menerima disiplin dari Tuhan. Apa hal yang menjadi motif di balik mereka menertawakan dan menghina akan disiplin dan peringatan-peringatan yang diberikan oleh firman Tuhan? Jawabannya sederhana yaitu mereka merasa peringatan-peringatan dari firman Tuhan itu tidak akan pernah terjadi. Ini realitanya, sehingga dalam Mazmur 73 pemazmur menyatakan keluhan, “Sebab aku cemburu kepada pembual-pembual, kalau aku melihat kemujuran orang-orang fasik . Sebab kesakitan tidak ada pada mereka, sehat dan gemuk tubuh mereka; mereka tidak mengalami kesusahan manusia, dan mereka tidak kena tulah seperti orang lain. Sebab itu mereka berkalungkan kecongkakan dan berpakaian kekerasan. Karena kegemukan, kesalahan mereka menyolok, hati mereka meluap-luap dengan sangkaan. Mereka menyindir dan mengata-ngatai dengan jahatnya, hal pemerasan dibicarakan mereka dengan tinggi hati. Mereka membuka mulut melawan langit, dan lidah mereka membual di bumi” (Mazmur 73:3-9). Sehingga dia mengatakan, “Sia-sia sama sekali aku mempertahankan hati yang bersih, dan membasuh tanganku, tanda tak bersalah” (Mazmur 73:13). Realita yang dia lihat terbalik: orang yang cinta Tuhan jalannya susah, orang yang takut Tuhan kehidupannya tidak lancar. Sebaliknya orang yang jahat, orang yang menertawakan Tuhan, hukuman Tuhan seolah tidak terjadi atas mereka. Hidupnya lebih enak, lebih lancar, lebih sukses, lebih gemuk, dsb sehingga orang-orang seperti ini jelas akan arrogant, memandang enteng dan anggap sepele kepada peringatan firman Tuhan kepadanya. Ketika pemazmur masuk ke dalam tempat kudus Allah, barulah dia melihat kesudahan mereka (Mazmur 73:17-18). Selama ini yang datang cuma warning, peringatan, ancaman, sehingga dipandang sebelah mata dan tidak pernah serius mendengarkannya, sampai satu hari kelak hukuman yang sesungguhnya datang kepada dia baru dia kaget dan terkejut luar biasa.
Penulis Ibrani mengatakan, jangan menganggap enteng didikan Tuhan, jangan mengabaikan disiplin yang diberikan Bapa kepadamu. Yang ke dua, sikap anak-anak Tuhan pada waktu mendapatkan disiplin dari Tuhan seringkali kita mengabaikannya dan tidak mau belajar; tidak menjadikan pendidikan Tuhan itu memimpin hidup kita lebih sungguh ikut Tuhan, mencintai dan mengasihi Tuhan. Dengan attitude seperti itu, sekalipun orang itu sudah lama menjadi orang Kristen, disiplin itu tidak dia terima menjadikannya bertumbuh menjadi dewasa. Yang ke tiga, seorang anak memandang ringan dan mengabaikan apa yang diajarkan oleh orang tuanya karena merasa dia sudah besar dan tidak perlu lagi didikan dan ajaran dari orang tua. Disiplin dan teguran dari firman Tuhan itu tidak kita terima dengan rendah hati dan tidak mau belajar daripadanya. Kita merasa diri lebih mampu, lebih hebat, dan kita bisa mengatur hidup kita dengan segala kesuksesan dan di tengah-tengah perjalanan itu kita bisa kaget dan shock ketika kita menyadari kita tidaklah seperti itu adanya. Itulah sebabnya ayat ini mengingatkan jangan berespon kepada apa yang terjadi dalam hidup kita dengan memandang enteng. Setiap kali ada teguran, ada hal yang menyakitkan terjadi, ada hambatan terjadi, kita stop sebentar, kita refleksi kembali, kita tilik hati kita sekali lagi, apakah kita menjadi sombong, angkuh dan arrogant, tidak bersandar kepada Tuhan; berjalan dengan serong dari jalan Tuhan?
Respon yang ke dua justru sebaliknya, sikap yang keliru dan salah di dalam meresponi disiplin Tuhan. Penulis Ibrani mengatakan: “Janganlah putus asa apabila engkau diperingatkanNya.” Dia mengingatkan agar kita tidak melihat teguran dan disiplin Tuhan sebagai tanda Tuhan tidak lagi mengasihi dan menyayangi kita. Akhirnya yang terjadi adalah kita mengasihani diri sendiri, kita kemudian self-pity dan dipenuhi oleh pikiran-pikiran yang negatif dan mencurigai kebaikan Allah. Kita juga cenderung membanding-banding diri dengan orang lain dan merasa hidup kita lebih berat dan lebih susah daripada yang lain. Merasa apa yang terjadi kepada kita tidaklah pada tempatnya. Akibatnya kita bisa menjadi putus asa, broken-hearted, dan merasa hopeless; melihat disiplin bukan sebagai tanda kasihnya Bapa, tetapi melihat itu sebagai tindakan yang tidak baik daripada Allah kepadanya, sehingga apa pun yang terjadi dalam hidupnya, dia tidak akan pernah melihat ada maksud baik dari rencana Tuhan yang terjadi di dalamnya. Itulah sebabnya kalau perspektifnya seperti itu, kita tidak akan pernah melihat disiplin itu diberikan bagi kebaikan kita.
Respon yang ke tiga, menerima dengan hati bersyukur karena tahu disiplin Allah kepada kita membuktikan kita adalah anak-anakNya yang sejati. Ibrani 12:6-8 berkata, “Karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak. Jika kamu harus menanggung ganjaran; Allah memperlakukan kamu seperti anak. Di manakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya? Tetapi, jikalau kamu bebas dari ganjaran, yang harus diderita setiap orang, maka kamu bukanlah anak, tetapi anak-anak gampang” (Ibrani 12:8). Pada waktu mengalami berbagai macam hal dalam hidup kita, justru di situ kita harus memiliki perspektif ini: aku adalah anak Allah. Relasi itu tidak pernah berubah. Yang sedang menggarap dan membentuk hidupku adalah Bapa di surga.
Seringkali kesalahan kita menilai pekerjaan Bapa kita yang di surga dengan cara menilai bagaimana ayah yang di dunia ini mendidik kita. Ada tiga kelemahan daripada orang tua di dalam mendisiplin dan membesarkan anaknya. Yang pertama, sebagai orang tua, kita adalah manusia yang sendirinya lemah dan terbatas. Kadang kita tidak menjadi contoh yang baik bagi anak-anak kita. Apa yang kita tuntut dari mereka, kita sendiri pun tidak konsisten melakukannya. Yang ke dua adalah kita mendidik anak kita menurut apa yang kita anggap baik bagi dia. Kadang apa yang kita anggap baik standarnya tidak jelas, terdistorsi oleh dosa dan kelemahan kita, terpengaruh oleh kultur dan budaya yang tidak Alkitabiah. Kita terbatas dalam pengetahuan, dalam edukasi, dalam metode. Sekalipun sebagai orang tua, kita punya motivasi yang baik dan cinta kepada anak-anak kita, tetapi bisa jadi dengan cara yang keliru sehingga memahitkan hatinya. Paulus juga berkali-kali memberi nasehat seperti ini: “Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasehat Tuhan” (Efesus 6:4, Kolose 3:21). Yang ke tiga, sebagai orang tua, kita hanya bisa mendidik dalam waktu yang singkat dan terbatas. Begitu masuk fase remaja boleh dikatakan kita tidak bisa lagi mendidik mereka seperti pada waktu mereka masih kecil, bukan? “Sebab mereka mendidik kita dalam waktu yang pendek sesuai dengan apa yang mereka anggap baik, tetapi Dia menghajar kita untuk kebaikan kita, supaya kita beroleh bagian dalam kekudusan-Nya” (Ibrani 12:10). Allah kita tidak bisa kita bandingkan dengan bapa kita yang di dunia. Allah kita yang di surga adalah Bapa yang kekal, yang tidak terbatas. Ia Allah yang bijak, penuh kasih dan sempurna. Dengan demikian, percayalah tujuan dari disiplinNya adalah bagi kebaikan, kekudusan, keindahan kita. Kita terbatas melihat ke depan, kita tidak bisa memprediksi sampai sejauh hidup kita. Dan hidup kita yang singkat dan pendek ini tidak bisa kita pakai untuk menilai siapa Allah kita. Kita cuma bisa melihat dengan terbatas, tetapi Allah melihat dari awal sampai akhir.
Penulis Ibrani memberi nasehat yang ke dua kepada kita menghadapi disiplin itu: “Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah. Ingatlah selalu akan Dia, yang tekun menanggung bantahan yang sehebat itu terhadap diri-Nya dari pihak orang-orang berdosa, supaya jangan kamu menjadi lemah dan putus asa” (Ibrani 12:1-3). Lakukan perjalanan iman dengan mata yang tertuju kepada Yesus; contoh konkrit dari Anak Tunggal Allah sendiri, Ia yang satu-satunya, yang dikasihi dan dicintai oleh Bapa dengan kasih yang kekal adanya. Ia yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan; Ialah yang menjadi awal dan penyempurna hidupku; He is the Author and the Perfecter of my faith. Kalau kita hanya terus memandang situasi dan kondisi hidup kita, kita bisa menjadi lemah dan putus asa. Pandanglah, fokuslah kepada Yesus. Lihatlah apa yang Ia alami, bagaimana perjalanan hidupNya, Ia yang dengan sabar menanggung bantahan, ejekan, hinaan dan siksaan yang sehebat itu terhadap diri-Nya sampai akhir. Kita bersyukur kepada Tuhan kalau di dalam disiplin dan di dalam struggle hidup kita, kita “naik kelas,” kita bukan lagi anak-anak dalam hal rohani, kita menjadi “remaja” dalam rohani. Tetapi kita tidak berhenti sampai di situ, bukan? Pada waktu Tuhan memproses kita, berarti Dia mau kita berubah dari fase remaja menjadi dewasa, dan kita akan tahu itu adalah pembentukan Tuhan yang pasti indah dan baik bagi engkau dan saya.
Yang terakhir, “Memang tiap-tiap ganjaran pada waktu ia diberikan tidak mendatangkan sukacita, tetapi dukacita. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya” (Ibrani 12:11). Ketika disiplin Allah terjadi, kita tahu disiplin itu datang karena baiknya Tuhan; kita tahu Ia adalah Bapa yang mengasihi kita; dan kita tahu didikan dan ganjaranNya mendatangkan kebaikan bagi kita. Namun tidak berarti tidak ada air mata dan kesedihan, bukan? Tuhan mengerti dan Tuhan tahu akan hal itu. Penulis Ibrani tidak mengabaikan proses emosional dari anak-anak Tuhan yang mengalami disiplin dari Tuhan. Kita bisa menangis, kita bisa meneteskan air mata. Hati kita berduka, bukan saja karena pukulan dan hajaran yang timpa kepada kita tetapi juga karena kita sadar pada waktu kita mengalami disiplin itu, kita pun telah mendukakan Roh Kudus yang ada di dalam hati kita. Kiranya hati kita juga dihiburkan oleh RohNya; dan kiranya damai sejahtera dari Roh Kudus menyembuhkan dan melembutkan hati setiap kita. Pada waktu kita takluk dan menerima pukulan Tuhan dengan taat, disiplin itu akan menghasilkan buah-buah kebenaran yang membentuk kedewasaan rohani kita. Paulus juga berkata dalam Roma 5:3-5, “Kita bermegah dalam kesengsaraan kita karena kita tahu bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan.” Itulah buah-buah kebenaran yang dihasilkan dari disiplin dan pendidikan Allah kepada kita yang bersedia dilatih olehnya. Kita bersyukur firman Tuhan ini memberi kekuatan kepada engkau dan saya. TanganNya menuntun dan memelihara setiap kita. Dan tangan Tuhan yang terindah dan terbaik itu pasti akan membentuk hal yang mulia, yang agung, yang suci dari hidup kita masing-masing. Karena itu kita pertaruhkan hidup kita di dalam pembentukan Bapa yang mengasihi kita. Mungkin kita merasa sebagai anak yang “insecure,” kita merasa ditolak, kita merasa putus asa, mengasihani diri dan merasa Tuhan tidak sayang kepada kita. Pada hari ini firman Tuhan mengingatkan kita sekali lagi bahwa Tuhan sungguh mencintai dan mengasihi kita. Jangan biarkan kita melihat setiap teguran Tuhan sebagai satu teguran yang kita pandang enteng. Mari kita ingat lagi bahwa Ia adalah Bapa yang mengasihi kita dan pasti setiap teguran yang datang kepada kita memanggil kita untuk ingat, taat dan setia kepadaNya.(kz)
