Money is not the Problem, the Love is

Pengkhotbah: Pdt. Effendi Susanto STh.
Seri: Eksposisi Surat Ibrani [17]
Tema: Money is not the Problem, the Love is
Nats: Ibrani 13:5-6, 1 Timotius 6:6-10,17-19

“Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu. Karena Allah telah berfirman: “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau.” Sebab itu dengan yakin kita dapat berkata: “Tuhan adalah Penolongku. Aku tidak akan takut. Apakah yang dapat dilakukan manusia terhadap aku?” (Ibrani 13:5-6)

“Memang ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar. Sebab kita tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia dan kitapun tidak dapat membawa apa-apa ke luar. Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah. Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan. Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka” (1 Timotius 6:6-10).

Ini adalah dua bagian firman Tuhan yang mendasari khotbah hari ini: “Money is not the Problem, the Love is.”
Masih perlukah kita mendengar khotbah mengenai uang? Saya percaya banyak orang Kristen merasa bicara soal uang di mimbar membuatnya tidak nyaman, karena ini adalah hal yang sangat sensitif. Lebih-lebih tidak sedikit yang punya pikiran negatif ketika seorang hamba Tuhan berbicara mengenai uang, itu berarti gereja itu sedang minta uang lagi. Tetapi justru gereja perlu memberikan guidance melihat uang itu dari sudut pandang firman Tuhan; gereja harus bicara mengenai uang dengan konsep yang benar karena inilah makna ibadah kita yang paling hakiki. Sekali lagi, kita harus mengerti prinsip ini dengan benar: Tuhan kita bukan Tuhan yang meminta-minta uang dan persembahan dari umatNya. Firman Tuhan berkata “Engkau tidak membawa domba korban bakaranmu bagiKu, dan tidak memuliakan Aku dengan korban sembelihanmu. Aku tidak memberati engkau dengan menuntut korban sajian atau menyusahi engkau dengan menuntut kemenyan” (Yesaya 43:23). Apakah Aku perlu makan dari persembahanmu? demikian firman Tuhan. Apakah Allah perlu mengemis-ngemis dari uang jemaat karena Allah adalah Tuhan orang miskin? Bukankah daripadaKu segala sesuatu itu? Kita harus mengerti, bukan persembahanmu yang banyak yang Tuhan cari. Tuhan tidak mau mengambil uang kita. Tetapi kita harus tahu semua yang kita miliki, termasuk uang kita, itu sesungguhnya milik Tuhan sendiri. Dan Tuhan mau kita melihat semua yang kita miliki, yang Ia beri itu dalam perspektif God-centred dan bukan our self-centred, itulah ibadah kita yang sejati. Tuhan Yesus mengatakan, “Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di surga; di surga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya. Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada. Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon” (Matius 6:19-21,24). Kita harus bicara mengenai uang dengan konsep yang benar karena Allah dan Mamon [materi] tidak boleh dikawinkan. Ketika kita berkata kita percaya Allah pimpin dan sertai hidup kita 100%, itu berarti kita menaruh worship kita kepada Dia, bukan kepada benda dan barang. Mungkin bagi sebagian orang Kristen lebih enak mengawinkan Allah dengan Mamon. Ikut Tuhan, engkau akan menjadi kaya; kekayaan itu menjadi tanda berkat Tuhan dan sebagainya. Kita tidak akan membiarkan uang dan segala harta yang ada dalam hidup kita menjadi mamon dan berhala yang kita sembah. Di sini Yesus mengingatkan kenapa kita tidak boleh cinta uang, kenapa kita tidak boleh jadikan uang itu hal yang penting; sebab dengan mudah kita bisa menaruh hati kita, worship kita kepada uang, benda dan barang; dia sanggup bisa menggantikan Allah di dalam hidup kita dan menjadikan kita bersandar penuh kepadanya. Jadi ini bicara soal hati kita ditaruh kepada siapa sebenarnya.

Alkitab dengan jelas mengatakan segala benda materi yang diciptakan Tuhan itu baik adanya. Dan Alkitab tidak mengatakan bahwa mengumpulkan dan memiliki segala benda materi itu pada dirinya adalah jahat. Alkitab juga tidak berkata bahwa pada waktu kita membelanjakan uang dan menikmati segala berkat materi yang datang di dalam hidup kita sebagai sesuatu yang salah. Alkitab juga tidak berkata bahwa orang kaya itu tidak rohani dan orang miskin itu otomatis adalah orang yang lebih rohani dan lebih dekat dengan Tuhan. Tetapi kita menemukan ada orang-orang yang walaupun di dalam kemiskinan bisa menjadi orang-orang yang berlimpah dengan kekayaan dan kebajikan. Dan sebaliknya ada orang-orang yang kaya harta tetapi kekayaannya tidak pernah menjadi kepuasan di dalam hidupnya, dan justru orang-orang seperti ini hidup di dalam kemiskinan rohani dan mereka terus-menerus jatuh di dalam berbagai jerat hal-hal yang hampa. Dengan demikian jelas sekali, kurang uang bukanlah hal yang buruk; kelebihan uang bukanlah juga hal yang jahat. Kurang uang atau banyak uang, bukan itu yang menjadi persoalan dan problemnya. Dari dua bagian ayat firman Tuhan yang kita baca, baik penulis Ibrani maupun rasul Paulus mengatakan akar dari persoalan kita di dalam relasi dengan benda materi, harta kekayaan dan uang di dalam hidup kita bukan kepada bendanya tetapi persoalan di dalam hati kita dan itu bicara soal kecintaan kita kepadanya. Akar dari segala kejahatan adalah cinta uang. Karena kecintaan akan uang, Paulus katakan, begitu banyak orang jatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan. Kita bisa melihat hidup orang-orang seperti ini berakhir dengan tragis; uang tidak memberikan mereka kebahagiaan dan kepuasan yang sejati.

“Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu,” demikian nasehat penulis Ibrani. Di dalam bahasa aslinya ada satu kata yang tidak diterjemahkan di sini yaitu kata “tropos” yang bisa diterjemahkan dengan kata “lifestyle.” Sehingga terjemahannya bisa demikian: jangan memiliki lifestyle yang cinta uang, tetapi miliki hati yang contentment, hidup yang cukup dan puas dengan apa yang ada padamu. Apa maksudnya “lifestyle cinta uang”? Saya lebih melihat itu berarti di situlah berarti diri saya yang menjadi pusat. Apa yang sudah saya dapat, yang sudah saya miliki, itu milikku sepenuhnya. Apakah engkau seorang yang cinta uang? Bagaimana mengukur apakah kita cinta uang atau tidak, itu bukan sesuatu hal yang gampang dan mudah karena bicara tentang sesuatu yang abstrak dan tidak kita lihat. Waktu kita tanyakan kepada diri kita masing-masing: apakah saya kurang uang? Ataukah saya kelebihan uang? Soal kelebihan atau kebanyakan uang atau kurang uang, itu bisa diukur. Tetapi persoalan hati yang cinta uang, itu susah dan sulit mengukurnya. Mungkin kita lebih gampang menuduh dan melihat kepada orang lain: orang itu kemaruk akan uang, karena sedikit-sedikit bicara soal uang, kelihatan sekali orang ini materialistik, tetapi kita tidak bisa melihat kepada diri kita sendiri.
Maka hari ini saya akan memberikan 4 pertanyaan praktis sebagai tolok ukur untuk kita mengevaluasi dan menanyakan kepada diri kita masing-masing beberapa hal ini:

1. Apakah engkau selalu bersyukur dalam segala hal, baik dalam hal-hal yang besar maupun dalam hal-hal yang kecil dan sederhana? Umumnya orang yang self-entitlement, yang menilai diri lebih daripada yang sepatutnya akan memiliki hati yang tidak pernah bersyukur karena merasa dia layak mendapatkan segala yang terbaik. Dari hati tidak puas melahirkan hati yang tidak bersyukur, penilaian diri, merasa apa yang didapat seharusnya lebih daripada yang sekarang ini. Waktu berelasi dengan Tuhan, semua yang dia terima dari Tuhan tidak pernah membawa rasa syukur yang berlimpah. Dia merasa sudah sepatutnya, sudah selayaknya, sudah sepantasnya dia mendapatkan semua itu. Sehingga bukan saja dia tidak mengucap syukur untuk hal-hal yang baik yang dia miliki; dia akan menjadi seorang yang cepat sekali menggerutu, bersungut-sungut dan marah ketika ada hal-hal yang dia rasa tidak baik datang ke dalam hidupnya.

2. Apakah engkau bisa membedakan antara keinginan dan kebutuhan? Membedakan antara keinginan dan kebutuhan bukan hal yang mudah. Waktu baru menikah, punya rumah kecil dengan satu atau dua kamar saja, senangnya bukan main. Biarpun ukuran serba kecil, tetapi kita senang dan puas karena sesuai dengan kebutuhan. Setelah punya anak, kemudian muncul keinginan untuk punya rumah yang lebih besar, ada halaman belakang buat berkebun. Mungkin di situ hati sedikit guilty, apakah ini kebutuhan atau keinginan? Lalu setelah punya rumah yang agak besar, setiap anak masing-masing mau dapat satu kamar, demikian seterusnya. Kita mau terus lebih dan lebih karena kita pikir itu kebutuhan kita, padahal belum tentu itu adalah hal yang kita butuhkan. Sehingga kita perlu memiliki ukuran seperti apa? Sudah tentu kita harus akui, kita tidak bisa meletakkan satu ukuran seseorang untuk menjadi dasar. Ataukah kita merubah keinginan menjadi kebutuhan, padahal sebenarnya itu bukan hal yang kita butuhkan. Dalam Filipi 4:9 Paulus berkata, “Allahku akan memenuhi segala keperluanmu menurut kekayaan dan kemuliaanNya dalam Kristus Yesus.” Menarik, di sini Allah berjanji akan memberikan dan mencukupkan apa yang engkau perlukan dan bukan berjanji memenuhi segala keinginan hatimu.

3. Apakah engkau memiliki hati yang contentment, hati yang puas dan cukup? Hati yang tidak pernah merasa puas, yang tidak pernah merasa cukup, itulah yang menyebabkan kita akhirnya terjatuh dan terjebak kepada keinginan dan desire yang tidak ada habis-habisnya. Hati yang tidak pernah puas itu seperti kantong yang senantiasa bocor di dalam hidup kita, seberapa banyak diisi, pasti tidak akan pernah cukup. Pengkhotbah 2 mengatakan ada orang yang seumur hidup terus menumpuk harta lebih banyak, dengan satu pikiran bahwa itu akan memuaskan rasa cukup, tetapi semua itu sia-sia adanya, karena bukan itu jawaban dari hati yang discontent. Rasa tidak puas tidak pernah berkaitan dengan kuantitas di dalam hidup kita, berapa banyak yang bisa diisi di situ tetapi rasa tidak puas itu berkaitan dengan soal kualitas.

4. Yang ke empat, apakah hatimu selalu iri melihat kehidupan orang lain? Rasa tidak pernah puas itu selalu bergandengan dengan “saudara kembarnya” yang namanya “iri hati.” Mata kita disilaukan dengan apa yang ada di sekitar kita, yang padahal adalah hal-hal yang sementara adanya. Karena kita melihat sana-sini, dan membandingkan hidup kita dengan orang lain, kita menjadi iri hati dan dengki, kenapa orang lain memiliki sedangkan kita tidak memiliki; atau akhirnya kita memaksakan diri untuk memiliki apa yang orang lain punya saya pun harus punya barang yang sama.

Identitas kita itu penting. Tetapi kita tidak menaruh identitas dan dignitas berdasarkan merk dan brand pakaian, dan segala asesori yang engkau kenakan? Identitasmu bukan di situ. Yesus berkata, “Hidup itu lebih penting daripada makanan dan tubuh itu lebih penting daripada pakaian” (Lukas 12:23). Itu hal yang penting dan harus selalu kita ingat di tengah maraknya instagram dan facebook, yang membuat begitu banyak orang Kristen mengalami krisis identitas. Identitas kita jelas, kita adalah anak-anak Tuhan; hidup kita milik Tuhan. Dan hidup yang Ia beri ini harus menjadi hidup yang kita pakai untuk hormat, pujian dan kemuliaan bagi nama Tuhan. Ia telah menjadi milik kita selama-lamanya. Sehingga sepanjang hidup ini kita ingin mencari kerajaanNya, kebenaranNya, kesucianNya, dan kemuliaan Tuhan.

Tidak gampang dan tidak mudah, bahkan sebagai hamba Tuhan, kita pun bisa jatuh dalam iri hati di dalam pelayanan melihat gereja dan pelayanan orang lain semakin flourish. Di dalam masa-masa pandemi seperti ini kita bisa melihat betapa struggle-nya jikalau satu organisasi misi, satu gereja dan satu pelayanan memiliki resources yang sedikit dan kecil. Sudah tentu gereja dan pelayanan misi membutuhkan uang dan resources untuk menopang pekerjaan Tuhan. Ketika jemaat sebuah gereja berkurang, dengan resources yang tidak banyak, dan setiap anggota jemaat memiliki struggle di dalam pekerjaan, dengan sendirinya kita bisa melihat banyak hal pelayanan menjadi berat dan susah. Tetapi sekali lagi, kita tidak boleh memiliki hati dan pikiran yang iri dan akhirnya tidak bisa melihat pemeliharaan Allah bagi pelayanan kita. Maka di sini kita dipanggil sekali lagi untuk menata hati kita, di mana kita menempatkan Allah dan memiliki perspektif yang benar.

Dalam perjalanan hidup kita adakalanya kita diperhadapkan dan dibawa kepada situasi dimana kita betul-betul kekurangan dan tidak punya apa-apa, ada sakit-penyakit yang datang dengan tiba-tiba ke dalam hidup kita, pekerjaan yang tidak kunjung kita dapatkan, kita berjuang dengan apa yang ada pada kita. Apalagi di dalam masa-masa yang sukar dan sulit seperti ini, mungkin tabungan dan simpanan yang ada sedikit demi sedikit harus keluar dan dipakai karena tidak memiliki pemasukan dan tidak ada sumber lain yang sdr bisa dapatkan. Tetapi justru di masa-masa yang susah seperti ini
Allah menguji hati kita bahwa memang kita tidak menjadikan kehebatan, kemampuan kita menjadi tempat persandaran kita. Hatimu tidak menjadi kecewa karena kita tahu di situ kita belajar bersandar kepada Tuhan, yang akan memberikan dan menuntun kita pada waktu yang tepat dan tidak pernah terlambat di dalam memberikan pertolonganNya. Dengan lutut, dengan teriakan, kita boleh berkata: Tuhan, aku tidak mau bersandar kepada kekuatanku sendiri; aku tidak bisa bersandar kepada kekayaanku; bukan uang yang menjadi tempat persandaranku. Kita masih bisa bersyukur kepada Tuhan untuk apa yang ada pada kita dan bersyukur untuk pemeliharaanNya. Kita masih memiliki sesuatu, kita masih bisa menikmati sesuatu dan apa yang ada pada kita adalah anugerah dan pemberian daripadaNya. Pengkhotbah 3:13 berkata, “Dan bahwa setiap orang dapat makan, minum dan menikmati kesenangan dalam segala jerih payahnya, itu juga adalah pemberian Allah.”

Itulah sebabnya waktu kita berbicara bagian ini, kita bukan sedang berbicara soal bagaimana orang Kristen me-manage uang, tetapi firman Tuhan ini mengajarkan kesetiaan hati kita itu bagaimana, dan itu bisa diukur dengan bagaimana uang itu kita lihat sebagai satu tolok ukur yang penting di dalam relasi kita dengan Tuhan. Uang bukan problem; uang itu netral. Namun Alkitab memberitahukan kepada kita uang itu dapat menjadi satu blessing yang luar biasa. Uang itu akan menjadi blessing dalam hidupmu jikalau melalui uang yang engkau dapat itu senantiasa mengingatkan betapa baiknya Tuhan di dalam hidupmu, sehingga hatimu selalu penuh dengan syukur. Uang itu dapat menjadi tolok ukur siapa yang memerintah hatimu; jikalau Tuhan, dan bukan uang dan materi yang memenuhi pikiranmu. Uang itu akan menjadi berkat kepadamu ketika engkau peka melihat kebutuhan orang lain dan memakai uangmu generous menolong orang yang dalam kesusahan finansial. Uang itu akan menjadi berkat bagi hidupmu jikalau engkau sanggup untuk melihat ada hubungan yang erat antara hal yang sementara itu dengan kerajaan Allah yang kekal.

Paulus mengingatkan beberapa hal ini: “Memang ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar. Sebab kita tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia dan kitapun tidak dapat membawa apa-apa ke luar. Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah.” Kita datang ke dunia ini tidak bawa apa-apa, kita meninggal juga tidak bisa membawa apa-apa.

Apakah engkau seorang yang kaya? Orang itu kaya bukan diukur daripada seberapa banyak uang dan asset yang dia miliki, tetapi dari seberapa banyak yang mengalir keluar dari dirinya bagi orang lain. Kita harus selalu ingat kita tidak bawa apa-apa ke sana; simpanlah harta yang memang abadi dan kekal. Paulus mengatakan, ada kekayaan yang seperti itu di sana dan kekayaan itu kita peroleh di sana oleh sebab engkau dan saya menjadi penatalayan yang baik bagi Tuhan terhadap apa yang Tuhan percayakan di dunia ini kepada kita. Berarti apa yang ada sekarang pada kita, itu dipercayakan Tuhan kepada kita sebagai managernya Tuhan. Kelola dengan baik dan ketika usahamu mendatangkan hasil yang baik, nikmatilah; karena Tuhan mengijinkan orang itu menikmati hasil dari kerja kerasnya. Tetapi jangan lupa, itu semua bukan milikmu; itu adalah milik yang dipercayakan Tuhan kepadamu. Mari kita bawa firman Tuhan ke dalam hidup kita hari ini. Milikilah satu lifestyle yang cinta Tuhan, jangan memiliki lifestyle yang cinta uang di dalam hidup kita. Biarlah setiap treasure yang diberikan Tuhan kepada kita boleh menjadi tolok ukur dan berkat yang indah bagi engkau dan saya. Apakah yang engkau dapat hari ini senantiasa mengingatkan engkau betapa baiknya Allah di dalam hidupmu dan kiranya itu membuat hatimu penuh dengan syukur dan peka terhadap kebutuhan orang lain. Jadikan uang yang ada dalam hidup kita senantiasa menjadi berkat dan pakailah segala harta dan uang itu di dalam satu koneksi kepada kerajaan Allah yang kekal adanya. Kiranya Tuhan menolong, memimpin dan membawa hati kita sekali lagi menjadikan Tuhan sebagai Allah yang kita hargai, kita hormati, kita muliakan. Allah yang kaya dan penuh dengan rahmat memberikan segala sesuatu untuk kita nikmati, yang boleh kita persembahkan dan pakai untuk hormat dan kemuliaan bagi nama Tuhan. Jangan biarkan ketakutan, keraguan, kekuatiran dan rasa tidak puas menyebabkan kita tidak melihat semua anugerah dan berkat Tuhan dalam hidup kita. Kiranya segala rahmat Allah yang penuh dengan kekayaan dan kelimpahan mengalir di dalam hidup kita dan kiranya segala kekayaan Allah yang ada dalam hidup kita boleh menjadikan kita kaya di dalam segala perbuatan yang baik dan segala pekerjaan yang baik yang kita lakukan diberkati oleh Allah.(kz)